Kisah Mbah Jirah, nenek 90 tahun hidup di gubuk reyot dengan Semut
Tuesday, 17 March 2015
0
comments
Seorang nenek berusia 90 tahun tinggal di sebuah gubuk kecil berukuran
2x3 meter di lereng Merapi di Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem Sleman.
Nenek yang bernama Jirah tersebut tinggal seorang diri dan hanya
ditemani seekor anjing yang dia beri nama Semut.
Di gubuk yang terbuat dari bambu dan dinding dari spanduk bekas tersebut mbah Jirah berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya hujan. Di dalam gubuk hanya ada sebuah meja, kursi dan tempat tidur yang hanya beralas tikar. Kondisinya pun lembab. Perabotan berserakan di lantai gubuk. Di depan pintu gubuk ada sebuah tungku dari tanah liat yang biasa digunakan mbah Jirah untuk memasak.
Di gubuk yang terbuat dari bambu dan dinding dari spanduk bekas tersebut mbah Jirah berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya hujan. Di dalam gubuk hanya ada sebuah meja, kursi dan tempat tidur yang hanya beralas tikar. Kondisinya pun lembab. Perabotan berserakan di lantai gubuk. Di depan pintu gubuk ada sebuah tungku dari tanah liat yang biasa digunakan mbah Jirah untuk memasak.
"Saya lupa kapan di sini, sudah lama, orang dulu nggak tahu tahun-tahunan, jadi lupa. Sejak kecil sudah di sini, sama Semut," kata perempuan yang kerap dipanggil Mbah Jinem oleh warga sekitar saat ditemui merdeka.com di gubuknya, Minggu (15/3).
Sehari-hari mbah Jirah berkebun. Dia menanam salak dan juga tanaman lainnya untuk kebutuhan sehari-harinya.
"Maaf
ini tidak bisa menyuguhi apa-apa, salaknya nggak berbuah, padahal mbah
yang tanam salak, sukun, nangka. Sehari-hari ya cuma ke kebun," ujarnya.
Sementara itu untuk beras, mbah Jirah kerap mendapat bantuan dari warga sekitar. Kadang dia hanya mendapat bantuan beras satu atau dua kilo untuk makannya dan juga Semut.
"Lauknya nggak pakai, cuma sayur, kadang gori (nangka muda), daun ubi, yang bisa dimasak. Kalau Semut, saya makan apa dia pasti pengen," ungkapnya.
Mbah Jirah sebenarnya memiliki seorang anak. Namun anaknya meninggal saat berusia dua bulan. Saat ditanya soal suaminya dia hanya diam dan mengulangi jawaban tentang anaknya.
"Anak saya sudah meninggal, waktu masih kecil, baru bulan sudah nggak ada," tuturnya.
Hujan yang akhir-akhir ini selalu mengguyur Yogyakarta membuat udara semakin dingin di malam hari. Namun rasa dingin tersebut tidak membuat mbah Jirah (90) resah. Hawa dingin menyusup lewat dinding gubuknya yang hanya terbuat dari spanduk bekas dan berlubang dibeberapa bagian tidak membuat tidurnya terusik.
Sementara itu untuk beras, mbah Jirah kerap mendapat bantuan dari warga sekitar. Kadang dia hanya mendapat bantuan beras satu atau dua kilo untuk makannya dan juga Semut.
"Lauknya nggak pakai, cuma sayur, kadang gori (nangka muda), daun ubi, yang bisa dimasak. Kalau Semut, saya makan apa dia pasti pengen," ungkapnya.
Mbah Jirah sebenarnya memiliki seorang anak. Namun anaknya meninggal saat berusia dua bulan. Saat ditanya soal suaminya dia hanya diam dan mengulangi jawaban tentang anaknya.
"Anak saya sudah meninggal, waktu masih kecil, baru bulan sudah nggak ada," tuturnya.
Hujan yang akhir-akhir ini selalu mengguyur Yogyakarta membuat udara semakin dingin di malam hari. Namun rasa dingin tersebut tidak membuat mbah Jirah (90) resah. Hawa dingin menyusup lewat dinding gubuknya yang hanya terbuat dari spanduk bekas dan berlubang dibeberapa bagian tidak membuat tidurnya terusik.
"Sudah biasa, saya tidur di sembarang tempat bisa," kata Mbah Jirah.
Ranjang bambu yang hanya beralas tikar baginya sudah cukup nyaman untuk merebahkan badannya yang renta. Dia bahkan tidak mengeluhkan banyaknya nyamuk yang menyerangnya di malam hari.
"Nggak kerasa lagi digigit nyamuk, lha setiap malam saya tidurnya di sini," ujarnya.
Dia bersyukur gubuknya tersebut tidak lagi bocor saat hujan deras. Jika bocor dia terpaksa ngungsi ke rumah tetangganya seperti saat erupsi merapi pada 2010 lalu.
Ranjang bambu yang hanya beralas tikar baginya sudah cukup nyaman untuk merebahkan badannya yang renta. Dia bahkan tidak mengeluhkan banyaknya nyamuk yang menyerangnya di malam hari.
"Nggak kerasa lagi digigit nyamuk, lha setiap malam saya tidurnya di sini," ujarnya.
Dia bersyukur gubuknya tersebut tidak lagi bocor saat hujan deras. Jika bocor dia terpaksa ngungsi ke rumah tetangganya seperti saat erupsi merapi pada 2010 lalu.
"Ya ngungsi, ini yang membuatkan rumah bagus nggak bocor, pas merapi meletus ya banyak abu, ada bocor, jadi ngungsi," ungkapnya.
Mbah Jirah selama ini tinggal bersama Semut di gubuknya yang terletak di antara kebun salak di lereng Merapi. Sehari-harinya dia berkebun untuk mencukupi kebutuhannya. Terkadang beberapa tetangganya juga memberikan makanan untuknya dan juga Semut.
Kadang diberi beras sekilo atau dua kilo sama tetangga, tapi itu nggak tentu, saya ya masak sendiri," tandasnya.
Saat muda dia berjalan kaki dari rumahnya di Turgo ke Pasar Godean yang jaraknya 25 Km untuk berjualan Jambu Klutuk (jambu biji). Mbah Jirah mengatakan dulunya kebun Salak di sekitar rumahnya adalah kebun Jambu. Setiap minggunya dia memanen Jambu dan menjualnya ke pasar sesuai dengan tanggal pasaran Jawa.
"Saya jalan kaki ke Pasar Godean jualan jambu, kalau pas ada kol (mobil bak terbuka) sayur saya numpang, terus jalan lagi," katanya.
Namun setelah kebun Jambu berganti kebun Salak, dia tidak lagi berjualan ke pasar. Dia hanya bekerja di ladang dan mencari sayur-sayuran untuk kebutuhannya sehari-hari.
"Kalau sekarang sudah tua, jalan saja pakai tongkat, kalau dulu masih Jambu ya ke pasar, terus sekarang ganti Salak. Nanam Salak kok malah nggak berbuah," ungkapnya.
Musiman, salah seorang tetangga mbah Jirah mengatakan selama ini pihak pemerintah juga sudah menyalurkan BLSM untuk mbah Jirah, namun setelah itu mbah Jirah malah memberikan uang BLSB kepada Musiman.
"Dia nggak tahu uang, dapat bantuan itu dititip kepada saya, sampai sekarang uangnya ya ada, nggak saya belikan apa-apa," katanya.
Mbah Jirah selama ini tinggal bersama Semut di gubuknya yang terletak di antara kebun salak di lereng Merapi. Sehari-harinya dia berkebun untuk mencukupi kebutuhannya. Terkadang beberapa tetangganya juga memberikan makanan untuknya dan juga Semut.
Kadang diberi beras sekilo atau dua kilo sama tetangga, tapi itu nggak tentu, saya ya masak sendiri," tandasnya.
Saat muda dia berjalan kaki dari rumahnya di Turgo ke Pasar Godean yang jaraknya 25 Km untuk berjualan Jambu Klutuk (jambu biji). Mbah Jirah mengatakan dulunya kebun Salak di sekitar rumahnya adalah kebun Jambu. Setiap minggunya dia memanen Jambu dan menjualnya ke pasar sesuai dengan tanggal pasaran Jawa.
"Saya jalan kaki ke Pasar Godean jualan jambu, kalau pas ada kol (mobil bak terbuka) sayur saya numpang, terus jalan lagi," katanya.
Namun setelah kebun Jambu berganti kebun Salak, dia tidak lagi berjualan ke pasar. Dia hanya bekerja di ladang dan mencari sayur-sayuran untuk kebutuhannya sehari-hari.
"Kalau sekarang sudah tua, jalan saja pakai tongkat, kalau dulu masih Jambu ya ke pasar, terus sekarang ganti Salak. Nanam Salak kok malah nggak berbuah," ungkapnya.
Musiman, salah seorang tetangga mbah Jirah mengatakan selama ini pihak pemerintah juga sudah menyalurkan BLSM untuk mbah Jirah, namun setelah itu mbah Jirah malah memberikan uang BLSB kepada Musiman.
"Dia nggak tahu uang, dapat bantuan itu dititip kepada saya, sampai sekarang uangnya ya ada, nggak saya belikan apa-apa," katanya.
Sumber : http://www.merdeka.com/
0 comments:
Post a Comment